Sidoarjo, 16 September 2025 — Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) melalui Pusat Pengendalian Lingkungan Hidup (Pusdal LH) Jawa menggelar Rapat Kerja Teknis (Rakernis) Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas berbasis lanskap di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa (16/9).
Kegiatan ini menghadirkan 70 peserta dari berbagai unsur, mulai dari KLH (Pusdal LH Jawa, Dit Gakkum, Dit PPMA), Pemerintah Provinsi Jawa Timur (Bappeda, Dinas LH, Dinas Kehutanan), pemerintah kabupaten/kota di sepanjang aliran Brantas, hingga akademisi dari Universitas Brawijaya dan Universitas Airlangga.
Rakernis dibuka oleh Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Elestianto Dardak, yang memimpin dialog langsung dengan perwakilan dari 16 kabupaten/kota.
Selama lebih dari dua jam, Emil mendengarkan paparan permasalahan lingkungan di masing-masing daerah, sebelum rapat dilanjutkan dengan pembahasan teknis.
Kepala Pusdal LH Jawa, Eduward Hutapea, mengatakan bahwa saat ini DAS Brantas menghadapi persoalan serius berupa penurunan kualitas air yang sudah masuk kategori tercemar sedang hingga berat, serta tingginya sedimentasi akibat erosi lahan di kawasan hulu.
Kondisi ini erat kaitannya dengan aktivitas manusia, mulai dari pemukiman, industri, pertanian, hingga pertambangan.
“Untuk mengatasinya perlu langkah nyata di lapangan, antara lain melalui pemantauan kualitas air secara real-time dan pengendalian laju sedimentasi," tegasnya.
Di samping itu, lanjut Edo, ketaatan lingkungan dari sektor industri, penataan serta pemulihan fungsi lanskap, dan peningkatan kesadaran masyarakat di sepanjang DAS Brantas menjadi kunci penting.
“Seluruh upaya tersebut perlu diwujudkan dalam rencana aksi pemerintah kabupaten/kota yang mendapat dukungan penuh dari seluruh pemangku kepentingan,” jelasnya.
Sementara itu, Emil dalam arahnnya, menegaskan bahwa pengelolaan DAS Brantas tidak boleh dianggap sebagai program sampingan.
“Persoalan di wilayah hulu yang semakin parah akibat degradasi hutan dan alih fungsi lahan menjadi pertanian atau peternakan, sementara di bagian hilir pencemaran limbah domestik masih menjadi momok utama,” ungkapnya.
Di sisi lain, kawasan tengah sungai juga menghadapi persoalan sedimentasi yang kian menekan daya dukung lingkungan.
Untuk itu, Emil mendorong adanya sistem pengelolaan limbah terpadu, penggunaan sensor kualitas air di sektor industri, serta peningkatan koordinasi lintas lembaga.
“Dibutuhkan kepemimpinan yang tegas, dukungan anggaran yang memadai, dan keberanian mengambil keputusan strategis, termasuk dalam penegakan hukum terhadap industri pencemar tanpa mengabaikan aspek sosial ekonomi,” tegas Emil di hadapan peserta.
Dua pakar turut memberikan masukan dalam forum ini. Prof. Eko Ganis Sukoharsono dari Universitas Brawijaya menekankan pentingnya valuasi jasa ekosistem sebagai dasar kebijakan ekonomi lingkungan.
Sementara itu, Dr. Sonny Kristianto dari Universitas Airlangga menyoroti urgensi pengelolaan DAS Brantas yang terintegrasi dan berkelanjutan, mengingat sungai ini merupakan sumber utama air minum bagi jutaan warga Jawa Timur.
Rakernis kemudian merumuskan sejumlah langkah strategis untuk ke depan. Beberapa di antaranya mencakup pemetaan potensi dan permasalahan lingkungan berbasis spasial, perencanaan tata kelola yang mempertimbangkan karakteristik wilayah, penguatan kebijakan berbasis data dan teknologi, serta integrasi pendekatan jasa ekosistem dalam manajemen DAS. Selain itu, peserta juga menekankan pentingnya pemantauan kualitas air yang lebih menyeluruh dan peningkatan partisipasi publik dalam menjaga kelestarian Brantas.
Kesepakatan ini menegaskan kembali komitmen bersama seluruh pemangku kepentingan bahwa penyelamatan Sungai Brantas dari hulu hingga hilir bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendesak demi keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat Jawa Timur.
Penulis: Yus Ade / Pusdal LH Jawa