Logo

Dua PP Baru Perkuat Tata Kelola Lingkungan: KLH/BPLH Tegaskan Rencana 30 Tahun dan Perlindungan Mangrove Jadi Fondasi Masa Depan

07 Juli 2025

Jakarta, 7 Juli 2025 — Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) mengukuhkan langkah strategis dalam menghadapi krisis iklim dan degradasi ekosistem dengan menerbitkan dua regulasi kunci: Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2025 tentang Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH), serta Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2025 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove (PPEM). Kedua peraturan ini menjadi tonggak penting dalam menata ulang arah pembangunan nasional agar selaras dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Deputi Tata Lingkungan dan Sumber Daya Alam Berkelanjutan, Sigit Reliantoro, menyatakan bahwa seluruh proses pembangunan kini wajib tunduk pada batas kemampuan alam. 

“Kalau kita ingin anak cucu kita tetap menghirup udara bersih dan hidup dari laut yang sehat, maka seluruh pembangunan harus tunduk pada batas daya dukung alam. Tidak bisa lagi kita membangun dulu, memperbaiki kemudian,” tegas Deputi Sigit.

Kedua Peraturan Pemerintah tersebut bukan sekadar penyempurnaan administratif, melainkan transformasi budaya perencanaan. 

“Kita ingin membangun budaya baru—budaya merencanakan alam sebagaimana kita merencanakan pembangunan,” ujar Deputi Sigit.

Peraturan Pemerintah tentang RPPLH mewajibkan seluruh pemerintah daerah untuk menyusun RPPLH jangka panjang selama 30 tahun, yang menjadi dasar penyusunan tata ruang wilayah, perizinan lingkungan, dokumen pembangunan, serta strategi mitigasi risiko bencana. Dokumen ini harus berbasis pada data ilmiah dan inventarisasi lingkungan hidup menyeluruh hingga tingkat tapak, termasuk kondisi ekosistem, kualitas udara dan air, tekanan industri, serta dinamika penduduk. Selain itu, RPPLH mengharuskan analisis daya dukung dan daya tampung lingkungan agar pembangunan tidak melebihi kapasitas bumi.

Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP), Dr. Phil. Hendricus Andy Simarmata, menyebut RPPLH sebagai “kompas ekologis” yang sangat penting untuk menyelaraskan berbagai rencana pembangunan sektoral. RPPLH dapat menjadi sarana sinergi antara dokumen strategis seperti Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional., Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, dan Rencana Tata Ruang dan Rencana Wilayah, sehingga arah pembangunan nasional tidak saling tumpang tindih.

“RPPLH yang terintegrasi akan mencegah konflik pemanfaatan ruang dan menjadi perisai lingkungan dalam jangka panjang,” jelas Hendricus.

Sementara itu, PP 27 Tahun 2025 tentang PPEM lahir untuk mengatur perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove secara nasional. Indonesia memiliki 3,44 juta hektare ekosistem mangrove, yang memainkan peran vital dalam melindungi pesisir dari abrasi, menjadi habitat biota laut, serta menyerap karbon dalam jumlah besar—diperkirakan mencapai 170 juta ton CO₂ per tahun. Sayangnya, lebih dari satu juta hektare mangrove masih berada dalam status hutan produksi dan belum terlindungi secara optimal. Oleh karena itu, PPEM menetapkan mekanisme untuk melindungi mangrove baik di dalam maupun luar kawasan hutan, menetapkan fungsi lindung dan budidaya, serta mewajibkan restorasi apabila terjadi kerusakan.

Guru Besar Universitas Diponegoro sekaligus Ketua SDGs Center UNDIP, Prof. Dr. Denny Nugroho Sugianto, menyambut baik lahirnya PPEM, karena peraturan ini menyoroti pentingnya pengelolaan berbasis ekosistem dan data ilmiah untuk memastikan efektivitas perlindungan.

“Indonesia memiliki peluang luar biasa dalam mitigasi perubahan iklim melalui ekosistem mangrove. Namun potensi ini belum sepenuhnya terlindungi secara hukum. Perlu ada kajian ulang agar kawasan dengan nilai ekologis tinggi dapat dialihkan menjadi kawasan lindung,” kata Denny.

Deputi Sigit menambahkan bahwa pendekatan partisipatif menjadi prinsip utama dalam implementasi dua PP ini. KLH/BPLH menekankan bahwa setiap unsur masyarakat memiliki hak dan tanggung jawab untuk ikut merancang masa depan lingkungan hidupnya.

“Ini bukan hanya tugas pemerintah. Masyarakat sekarang bisa ikut dalam Musrenbang lingkungan, menyuarakan hak atas udara dan laut bersih, atau bahkan menyumbangkan data dan inovasi. Karena menjaga lingkungan bukan lagi urusan segelintir ahli—tapi urusan gotong royong seluruh bangsa,” ujar Deputi Sigit.

Dalam mendukung implementasi PPEM, pemerintah meluncurkan program Desa Mandiri Peduli Mangrove (DMPM), yang mengintegrasikan konservasi mangrove dengan penguatan ekonomi masyarakat pesisir. Program ini mencakup silvofishery, ekowisata, pembibitan mangrove, serta pemberdayaan kelembagaan dan sarana prasarana desa. 

“Insentif, pendanaan, hingga pemberdayaan lokal diatur dalam PP 27 agar pemulihan mangrove tidak membebani warga, tapi justru membuka peluang ekonomi hijau dan biru,” lanjut Deputi Sigit.

Direktur Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Perairan Darat, Puji Iswari, menegaskan bahwa KLH/BPLH akan segera menyusun peraturan turunan kedua PP tersebut agar dapat diimplementasikan secara teknis dan operasional di lapangan. Selain itu, pemerintah juga merencanakan pembentukan tiga Unit Pelaksana Teknis (UPT) regional di Jambi, Pontianak, dan Sorong, untuk memperkuat pengelolaan mangrove dan perairan darat di wilayah Sumatera, Kalimantan, dan Papua.

Dengan pendekatan berbasis ilmu pengetahuan, kolaborasi multipihak, dan dukungan kebijakan yang kuat, KLH/BPLH menegaskan komitmennya untuk membangun sistem perlindungan lingkungan yang tangguh, adil, dan berkelanjutan. 

“Melalui pendekatan ilmiah, partisipatif, dan berbasis data serta ekosistem, KLH berkomitmen mewujudkan lingkungan hidup yang baik, sehat, dan tangguh terhadap krisis iklim demi generasi sekarang dan mendatang,” tutup Deputi Sigit.

Kehadiran dua PP ini menjadi sinyal bahwa Indonesia tidak hanya membenahi birokrasi lingkungan, tetapi juga menetapkan arah pembangunan yang berpihak pada alam dan mengakar di komunitas. Kini saatnya semua pihak—petani, pelajar, nelayan, perangkat desa, akademisi, hingga pelaku usaha—mengambil bagian. Menanam pohon, menjaga laut, menyuarakan keberlanjutan di forum-forum lokal adalah bentuk nyata bahwa masa depan bumi bukan untuk ditunggu, tetapi untuk dirancang dan dijaga bersama.

 

Galeri Foto

Additional image
Additional image
Additional image
Additional image