Di sudut-sudut kota, profesi pemulung sering kali dipandang sebelah mata. Mereka bergulat dengan risiko kesehatan, stigma sosial, dan ketidakpastian ekonomi. Namun, di balik tumpukan sampah itu, ada kisah keteguhan hati dan kebangkitan yang jarang tersorot. Kisah seorang perempuan di Tembalang, Kota Semarang, membuka mata bahwa keberdayaan bisa tumbuh dari ruang-ruang yang tidak kita duga.
Warsi, seorang perempuan tanpa pendidikan tinggi, bahkan keterampilan membacanya terbatas. Ketika diminta mendokumentasikan pembelajaran dalam pelatihan Bisnis Dasar dan Pemberdayaan Diri (BBEST)—program yang didukung USAID untuk para pekerja sektor persampahan—kegelisahan menyergapnya. Bagaimana menulis, jika huruf-huruf saja masih terasa asing?
Namun, pelatihan itu membuka jalan baru: peserta didorong mengekspresikan diri dengan cara yang paling sesuai bagi mereka. Perempuan ini pun memilih menggambar. Dengan coretan sederhana, ia menuangkan ide-ide tentang kanvas model bisnis (Business Model Canvas/BMC). Saat tiba gilirannya mempresentasikan, Warsi tidak lagi canggung. Gambar-gambar itulah yang menjadi bahasanya. Dengan penuh percaya diri, ia menjelaskan satu per satu ilustrasi yang mewakili impiannya membangun usaha, sekaligus memperbaiki taraf hidup.
Ruangan yang tadinya terasa menegangkan berubah hangat. Rekan-rekan sesama pemulung dan para fasilitator mendengarkan dengan penuh antusias. Mereka tidak melihat keterbatasan, melainkan keberanian. Inilah esensi dari pelatihan yang inklusif—bahwa setiap orang, siapa pun dia, berhak punya ruang untuk bersuara dan dihargai.
Pelatihan tersebut merupakan turunan dari Program BBEST yang lahir dari semangat global dalam 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) yang dicanangkan oleh PBB. Tidak hanya mengajarkan cara mengelola bisnis, namun juga mengembalikan martabat bagi mereka yang sering tersisih. Kurang lebih 80 peserta dari Semarang, Demak, hingga Purwodadi ikut merasakan bahwa pemberdayaan bukan sekadar teori. Ia hadir nyata, dalam bentuk rasa percaya diri yang tumbuh, solidaritas yang terbangun, dan masa depan yang mulai terasa lebih terang.
Kementerian Lingkungan Hidup / Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) melihat pentingnya pendekatan inklusif dalam pelatihan ini. Dukungan KLH/BPLH memastikan bahwa pelatihan serupa dapat diimplementasikan di berbagai daerah di Indonesia. Tidak hanya bagi para pemulung, namun juga untuk pegiat Bank Sampah dan komunitas lain yang menjadi garda depan pengelolaan sampah, agar kehidupannya menjadi sejahtera dan tentunya pengelolaan sampah di Indonesia menjadi lebih baik.
Sejak akhir tahun 2024 hingga beberapa waktu lalu, pendekatan inklusif BBEST melalui Direktorat Pengurangan Sampah dan Pengembangan Ekonomi Sirkular yang berkolaborasi dengan wastepreneur.id telah diterapkan, tidak hanya kepada para pelaku dan pegiat sosial di sektor persampahan seperti bank sampah, namun juga dalam bentuk Training of Trainers (ToT) bagi para Pacalang di Bali—penjaga keamanan adat yang kini turut diberdayakan dalam pengelolaan sampah di lingkungannya.
Warsi, perempuan di Tembalang itu mungkin tidak pernah membayangkan bahwa gambarnya akan menjadi simbol keberanian. Namun kisahnya adalah pengingat: di balik stigma dan kesulitan, selalu ada jalan untuk menemukan kekuatan. Terkadang, kekuatan itu berawal dari pensil sederhana di tangan seorang pemulung.
Jakarta, 15 September 2025
Penulis: Fikri Aswan dari wastepreneur.id dan Yulianti Fajar Wulandari, Pranata Humas Ahli Pertama pada Biro Humas KLH/BPLH