Logo

Ibu Menik dengan Sampahnya: Kisah Inspiratif Dibalik Event HLH Sedunia 2025

26 Juni 2025

Dari Ujung Lorong di Ulujami, Sebuah Gerakan Daur Ulang Menginspirasi Masyarakat.

Di tengah hiruk-pikuk Jakarta International Convention Center selama Expo dan Forum Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2025, di salah satu sudut pameran, kisah lain tumbuh perlahan tapi dalam—kisah seorang perempuan bernama Tri Sugiarti, atau yang lebih akrab dipanggil Ibu Menik, pendiri Bank Sampah Tri Alam Lestari di Kelurahan Ulujami, Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan.

Dengan tangan terampil dan suara penuh semangat, Ibu Menik membimbing para pengunjung dalam workshop membuat sabun dan lilin dari minyak jelantah, merangkai tikar dari plastik sachet, dan membentuk kertas HVS bekas menjadi tempat tisu dan pot bunga. Sederhana, fungsional, dan menginspirasi. “Sampah bukan akhir dari segalanya, kita bisa menciptakan kehidupan baru dari yang dibuang, bahkan lebih bernilai,” katanya. 

Tempat tissue ini saya buat dari lembaran HVS bekas yang biasa dipakai di kantoran, sudah saya ekspor ke luar negeri dan sering saya jual juga kalo diundang pameran UMKM,” katanya sambil menunjukkan sebuah kotak tissue berwarna putih yang bahkan tidak terlihat bahwa itu terbuat dari sampah kertas HVS. Produk kertas daur ulang Ibu Menik kini telah masuk ke jaringan ritel global seperti Uniqlo, dan bahkan menembus pasar Eropa, termasuk ke Inggris dan Jerman.

Untuk bikin ini harus teliti, meski agak lama tapi hasilnya bisa dijual dengan harga tinggi, kebanyakan dari luar negeri suka karena saya kasih model stupa Borobudur diatasnya,” lanjut Menik dengan semangat.

Sejak mendirikan Bank Sampah Tri Alam Lestari, Ibu Menik telah menjadikan rumah dan lingkungannya sebagai laboratorium hidup pengelolaan sampah berbasis 3R—Reduce, Reuse, Recycle. Ia bukan hanya mengajak warga memilah dan menabung sampah, tapi juga membuka pintunya bagi pelajar dan mahasiswa dari berbagai sekolah dan universitas yang ingin belajar langsung praktik daur ulang.

Saya hanya ingin menunjukkan bahwa semua orang bisa mulai dari rumah. Sampah itu bukan musuh, dia hanya perlu disapa dengan cara berbeda,” tuturnya sambil mempersiapkan sampah sachet dari plastic untuk workshop. “Anak-anak sekolah yang datang ke sini, itu harapan saya. Mereka yang nanti akan melanjutkan,” katanya pelan.

Kisah Ibu Menik menjadi salah satu titik cahaya di tengah peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia (HLH) 2025 yang digelar Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH). Dibuka secara resmi oleh Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq, Acara ini mengusung tema global Ending Plastic Pollution dan tema nasional #HentikanPolusiPlastik.

Polusi plastik bukan sekadar isu lingkungan—ini krisis yang mengancam ekosistem, kesehatan, dan masa depan kita,” tegas Menteri Hanif dalam pidatonya.

Rangkaian kegiatan HLH 2025 dimulai dari aksi bersih pantai di Bali yang melibatkan lebih dari 10.000 peserta, dengan puncak perayaan berupa pameran dan forum di Jakarta pada tanggal 22–24 Juni. Sebanyak 78 stan mitra pemerintah, swasta, komunitas, dan akademisi hadir, dengan 28 tema edukasi yang mencakup topik seperti AMDAL, pemulihan gambut, hingga program Adiwiyata dan Kalpataru.

Tak hanya itu, HLH Sedunia 2025 juga menjadi ajang peluncuran kebijakan penting—mulai dari larangan plastik sekali pakai hingga 2029, sistem penilaian baru Adipura, hingga penguatan tanggung jawab produsen dalam skema EPR (Extended Producer Responsibility).

Namun dalam deretan inovasi teknologi dan kebijakan itu, sosok seperti Ibu Menik hadir sebagai bukti bahwa perubahan sejati tumbuh dari bawah. Bahwa di balik grafik dan target nasional, ada tangan-tangan kecil yang bekerja setiap hari demi bumi yang lebih bersih.

Pameran HLH 2025 ditutup dengan pernyataan keras dari Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Wakil Kepala Badan Pengendalian Lingkungan, Diaz Hendropiyono. Ia mengungkap data yang mengkhawatirkan: lebih dari 34 juta ton sampah di Indonesia tidak terkelola dengan baik, berkontribusi terhadap perubahan iklim dan polusi mikroplastik yang kini telah menyusup ke air sungai, makanan, bahkan ke plasenta dan air susu ibu.

Sampah telah menyusup ke seluruh sendi kehidupan kita,” ujar Wamen Diaz dalam pidato penutupan, menegaskan bahwa perubahan bukan lagi pilihan, tetapi keharusan.

Namun di tengah kecemasan akan masa depan planet, pameran itu juga menjadi panggung bagi harapan—yang datang bukan dari teknologi canggih atau korporasi besar, tetapi dari warga seperti Ibu Menik. Di tangannya, konsep ekonomi sirkular bukan sekadar wacana, melainkan keseharian yang diajarkan dari rumah ke rumah, dari komunitas ke komunitas, dari sekolah ke sekolah bahkan ke universitas.

Seperti aliran air yang diam-diam mengukir batu, perubahan yang dibawa Ibu Menik tidak terjadi dalam sekejap. Ia bertahun-tahun menggelar pelatihan, mengetuk pintu rumah, menjawab skeptisisme dengan karya nyata. Ia menunjukkan bahwa daur ulang bukan aktivitas elitis, tetapi sesuatu yang bisa dikerjakan semua orang—asal ada kemauan dan sedikit keberanian untuk memulai. 

Di tengah krisis polusi yang kian meresahkan, harapan kadang datang dari tempat-tempat yang paling sederhana. Kisah Ibu Menik mengingatkan kita bahwa revolusi sejati bisa dimulai dari sudut rumah, dari gang kecil di Ulujami, dari obrolan tetangga, dan dari keyakinan bahwa sampah bisa punya masa depan. “Kalau satu rumah saja bisa kelola sampahnya sendiri,” katanya, “Indonesia bisa berubah.”

HLH 2025 bukan hanya panggung besar untuk inovasi hijau dan kebijakan ambisius, tapi juga ruang bagi para pelaku akar rumput seperti Ibu Menik untuk menunjukkan bahwa revolusi bisa dimulai dari sabun jelantah, tikar sachet, dan selembar kertas bekas yang ada di rumah kita.

Jakarta, 26 Juni 2026

Penulis: Yulianti Fajar Wulandari, Pranata Humas pada Biro Hubungan Masyarakat KLH/BPLH

Galeri Foto

Additional image
Additional image
Additional image
Additional image